Pages

Thursday, July 31, 2014

[Book Review #13] London: Angel


Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit:
GagasMedia, Cetakan Pertama, 2013
Tebal: 330 halaman
ISBN: 979-780-653-7
Rating: 4/5                            

Pembaca Tersayang,
Mari berjalan di sepanjang bantaran Sungai Thames, dalam rintik gerimis dan gemilang cahaya dari London Eye.
Windry Ramadhina, penulis novel Orange, Memori, dan Montase mengajak kita menemani seorang penulis bernama Gilang mengejar cinta Ning hingga ke Fitzrovia. Namun, ternyata tidak semudah itu menyatakan cinta. Kota London malah mengarahkannya kepada seorang gadis misterius berambut ikal. Dia selalu muncul ketika hujan turun dan menghilang begitu hujan reda. Sementara itu, cinta yang dikejarnya belum juga ditemukannya. Apakah perjalanannya ini sia-sia belaka?
Setiap tempat punya cerita.
Dalam dingin kabut Kota London, ada hangat cinta menyelusup.

Enjoy the journey,
EDITOR
***
Gilang, seorang aspiring novelist yang tanpa ia sadari telah lama memendam cinta kepada teman masa kecilnya, Ning–yang tinggal di sebelah rumahnya. Dia tidak pernah menyangka jika acara kumpul-kumpul bersama temannya pada malam  itu akan membuatnya melakukan sebuah ide gila. Saat itu Gilang dan keempat temannya menghabiskan malam minggu dengan minum-minum di Bureau, Pondok Indah. Dalam kondisi mabuk, Gilang menerima tantangan yang dilontarkan oleh keempat temannya. Menyusul Ning ke London.  

Sudah beberapa tahun terakhir ini Ning tinggal di London. Dia bekerja sebagai kurator di Tate Modern, sebuah galeri di London yang memajang seni modern dan kontemporer dari tahun 1900an hingga sekarang.
Gilang sengaja tidak memberitahukan kedatangannya ke London pada Ning karena dia ingin memberikan kejutan pada gadis itu. Tapi sesampainya di London, dia malah sulit menemui Ning karena ternyata gadis itu sedang tugas di luar kota untuk urusan pekerjaan. Rencana yang telah ia susun sedemikian rupa tidak berjalan sesuai harapan. Sudah tiga hari Gilang berada di London dan dia belum bertemu juga dengan Ning. Akhirnya dia menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan di London, mengunjungi tempat-tempat yang pernah Ning ceritakan padanya dan berkenalan dengan orang-orang baru. Selama di London Gilang malah sering bertemu dengan gadis berambut pirang dengan manik mata biru–yang ia juluki Goldilocks.

Goldilocks, gadis misterius yang hanya muncul ketika hujan turun dan langsung menghilang saat hujan reda. Beberapa kali mereka bertemu dengan kepergiannya yang selalu tiba-tiba, gadis itu meninggalkan sebuah payung merah yang kini selalu dibawa Gilang. Dari pria pemilik toko payung yang beberapa kali ia singgahi, Gilang jadi tahu tentang mitos yang beredar zaman dulu, bahwa malaikat turun di kala hujan. Ia hanya tertawa saat pria pemilik toko payung itu menganggap bahwa Goldilocks itu malaikat, karena Gilang pun belum tahu apakah Goldilocks itu malaikat atau bukan.

Selama di London, Gilang selalu bertemu dengan orang-orang yang sangat unik. Ia pun bertemu dengan Ayu, seorang gadis Indonesia yang berpenampilan cuek dan tidak terlalu ramah tapi sangat gigih mencari buku-buku lama, bahkan mencari cetakan pertamanya!!

Payung merah milik Goldilocks yang selalu dibawa Gilang ternyata memiliki peran penting dalam membantu kehidupan percintaan orang-orang yang ada di sekitar Gilang. Payung merah itu selalu ia pinjamkan pada orang-orang, bahkan pernah hilang tapi akhirnya kembali ke tangannya. Seolah-olah memperjelas jika selalu ada keajaiban yang terjadi karena payung itu.

Akhirnya Gilang pun bisa bertemu dengan Ning dan berkenalan dengan Finn, seorang seniman yang memamerkan karya-karyanya di Tate Modern. Payung merah itu pun dipinjam Ning. Entah keajaiban apa yang akan terjadi pada gadis itu. Dan apakah kedatangan Gilang tidak sia-sia, ataukah tidak.
***

London!!! Yeah!!! Saya sangat menyukai London dan akhirnya tanpa pikir panjang langsung membelinya :D  Cover-nya sangat simpel dengan warna dasar merah–yang saya rasa sangat cocok dengan sinopsis yang ada di belakang buku. Novel ini mengangkat tema percintaan tentang sahabat jadi cinta, temen jadi demen dan apapunlah itu istilahnya. Sejak membaca sinopsisnya, saya sudah berpikir O-OW, FRIEND ZONE!!

Saya sangat mengapresiasi kegilaan tantangan yang diberikan oleh keempat teman Gilang, menyuruhnya menyusul Ning ke London dan menyatakan cinta :p

Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang orang pertama, yaitu Gilang. Saya sangat jarang membaca novel romance yang ditulis dari sudut pandang pria, dan ini membuat saya dapat mengetahui berbagai hal jika dilihat dari sisi pria. Tapi saya merasa sosok Gilang ini terlalu melankolis, ditambah dengan kisah percintaan antara Gilang dan Ning yang tidak terlalu berkesan pada saya. Saya malah lebih senang dengan kisah percintaan tokoh lain, juga terkesan dengan pertemuan antara Gilang dan Goldilocks.

Ini merupakan pertama kalinya saya membaca novel karya Windry Ramadhina, dan menurut saya pemilihan diksi yang tepat dan cara penulisan yang mengalir membuat novel ini menyenangkan untuk dibaca. Penggambaran setting tempat dan karakter dalam novel ini terasa sangat kuat, membuat saya dapat ikut menelusuri kota London dan menambah pengetahuan tentang sastra klasik. Mengingat jika Inggris memang sangat kental dengan nuansa klasik, elegan, dan bersejarah. Tapiii, mungkin karena ini lah yang membuat penggambaran kisah percintaan Gilang dan Ning kurang terlalu matang dan berkesan jika dibandingkan dengan kisah cinta para tokoh sampingannya.

Walaupun begitu, novel ini tetap bisa menghibur saya dan membuat saya tenggelam ke dalamnya. Beberapa reviewer merasa tidak puas dengan akhir yang dipilih oleh Windry, tapi saya tidak keberatan dengan akhir novel ini. Saya malah senyum-senyum dibuatnya, apalagi dengan mitos yang beredar zaman dulu, bahwa malaikat turun di kala hujan, membuat imajenasi saya menyeruak :D

4 bintang untuk hujan yang mengguyur London, yang telah melimpahkan berbagai cerita :)


Diikutkan dalam:
- IRRC 2014
- Young Adult Reading Challange 2014 

1 comment: